Bab Shalat di Rumah Saat Hujan
Bab Shalat di Rumah Saat Hujan merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Ahad, 6 Jumadil Akhir 1446 H / 8 Desember 2024 M.
Kajian Tentang Shalat di Rumah Saat Hujan
صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ بِمِنًى صَلَاةَ الْمُسَافِرِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ ثَمَانِيَ سِنِينَ أَوْ قَالَ سِتَّ سِنِينَ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat di Mina dengan shalatnya seorang musafir (dua rakaat-dua rakaat). Demikian pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman selama delapan tahun, atau beliau berkata enam tahun.”
Hafsh (yaitu Ibnu Ashim) berkata: “Ibnu Umar biasa shalat di Mina dua rakaat, kemudian beliau mendatangi tempat tidurnya. Maka aku berkata: ‘Wahai paman, seandainya engkau shalat dua rakaat lagi setelahnya (shalat sunnah rawatib)?’ Ia menjawab: ‘Jika aku melakukannya, aku pasti akan menyempurnakan shalatku.’” (HR. Muslim)
Dari hadits ini kita ambil faedah, bahwa orang yang sedang safar disyariatkan untuk senantiasa mengqasar shalatnya. Dan sudah pernah kita sebutkan tentang ikhtilaf para ulama, apakah mengqasar itu hukumnya wajib atau sunnah muakkadah? Yang jelas, selama kita mampu, kita dianjurkan untuk mengqasar shalat, kecuali jika kita shalat di belakang imam yang mukim. Namun, jika ada pertanyaan mana yang lebih utama antara mengqasar shalat atau shalat berjamaah, misalnya seseorang safar ke suatu kota selama 2 hari, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan bahwa shalat berjamaah lebih utama.
Hadits ini menunjukkan bahwa jika kita mengqasar, maka tidak disunahkan melaksanakan shalat sunnah rawatib. Namun, yang tidak disunnahkan itu hanya shalat sunnah rawatib saja. Dikecualikan dari hal ini adalah shalat sunnah qabliah Subuh, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkannya, meskipun dalam keadaan safar. Demikian pula, shalat Witir tetap dianjurkan.
Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bahwa disyariatkan untuk mengqasar shalat di Mina.
Bab Menjamak Dua Shalat dalam Safar
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika beliau tergesa-gesa untuk safar, maka beliau mengakhirkan Dzuhur ke awal waktu shalat Ashar, lalu menjamak (menggabungkan) keduanya. Beliau juga mengakhirkan shalat Magrib hingga menggabungkannya dengan shalat Isya ketika syafaq (cahaya merah di langit) telah hilang.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya jamak, yaitu menggabungkan dua shalat dengan mengakhirkan shalat pertama ke waktu shalat kedua. Para ulama sepakat bahwa jamak takhir diperbolehkan, sedangkan jamak takdim (menggabungkan dengan memajukan waktu shalat kedua ke waktu shalat pertama) diperselisihkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa jamak takdim juga disyariatkan. Namun Imam Bukhari mendhaifkan hadits tentang jamak takdim tersebut.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kalau berangkat safar sebelum waktu Dzuhur, maka beliau mengakhirkan Dzuhur di waktu Ashar (ini jamak takhir) dan kalau berangkatnya setelah Dzuhur maka beliau tarik Ashar di waktu Dzuhur.
Namun, jumhur ulama mengatakan bahwa terdapat syarat dalam jamak takdim, yaitu muwalah (tidak ada jeda yang panjang antara dua shalat). Misalnya, jika seseorang ingin menjamak Dzuhur dan Ashar dalam jamak takdim, ia harus segera melaksanakan Ashar setelah Dzuhur tanpa jeda yang lama.
Menjamak Shalat Jumat dengan Ashar?
Masalah menjamak shalat Jumat dengan Ashar adalah khilafiyah di kalangan ulama. Sebagian ulama, seperti Imam Ahmad dan Hanafiyah, berpendapat tidak boleh menjamak keduanya. Sedangkan Mazhab Syafi’i memperbolehkan dengan alasan bahwa Jumat adalah pengganti Dzuhur, sehingga hukumnya sama dengan Dzuhur.
Namun, ulama seperti Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Syaikh Bin Baz berpendapat tidak boleh menjamak keduanya. Hal ini karena Jumat berdiri sendiri dan memiliki hukum tersendiri yang berbeda dengan Dzuhur, sebagaimana disebutkan dalam banyak dalil. Di antara dalilnya adalah ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wukuf di Arafah pada hari Jumat, beliau tidak melaksanakan shalat Jumat, tetapi menjamak Dzuhur dan Ashar
Wallahu a’lam, dalam hal ini, sikap yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak antara shalat Jumat dengan Ashar. Jika seseorang sedang dalam kondisi safar, yang lebih baik adalah tidak melaksanakan shalat Jumat jika ingin menjamak dengan Ashar, karena musafir tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jumat.
Menjamak Dua Shalat Ketika Mukim (Tidak Safar)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak shalat Dzuhur dengan Ashar, serta Magrib dengan Isya di Madinah, tanpa ada rasa takut ataupun hujan.“
Dalam riwayat Waki’, ia berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa Rasulullah melakukan hal itu?’ Ia menjawab, ‘Agar tidak menyusahkan umatnya.`”
Dalam riwayat Abu Mu’awiyah disebutkan: “Ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Apa tujuan Rasulullah melakukan hal itu?’ Ia menjawab, ‘Beliau tidak ingin memberatkan umatnya.`” (HR. Muslim)
Perhatikan kata-kata Ibnu Abbas “Supaya tidak menyusahkan umatnya,” ini memberikan isyarat dan pemahaman kepada kita bahwa bolehnya menjamak dua shalat ketika tidak safar ketika ada masyaqqah (kesulitan).
Dari hadits ini, kita mengambil faedah, bahwa dibolehkan menjamak shalat ketika ada adanya kesulitan. Juga tidak boleh dilakukan secara terus-menerus.
Juga dibolehkan menjamak shalat ketika ada hujan atau rasa takut. Hal ini berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara Dzuhur dan Ashar, serta Magrib dan Isya di kota Madinah, tanpa ada rasa takut atau hujan. Artinya, jika ada hujan atau rasa takut, maka boleh menjamak shalat.
Namun, di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kondisi saat hujan berbeda dengan keadaan saat ini. Masjid di zaman beliau tidak memiliki atap seperti masjid pada masa sekarang. Jika Antum pernah mengunjungi Museum Sirah Nabawiyah, Antum akan melihat bahwa masjid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya memiliki atap di bagian depan dan belakang, sedangkan bagian tengahnya terbuka.
Ketika hujan turun, lantai masjid menjadi becek, dan itu tentu sangat memberatkan jamaah. Namun, pada zaman sekarang, kebanyakan masjid sudah tertutup atapnya, sehingga saat hujan pun, kita tidak mengalami kesulitan untuk shalat. Oleh karena itu, jika hujan tidak menyebabkan masyaqqah (kesulitan), maka tidak ada kebutuhan untuk menjamak shalat.
Namun, jika kondisi masjid terbuka sehingga terdapat kesulitan, maka dibolehkan menjamak shalat berdasarkan adanya masyaqqah, sesuai syariat.
Bab Shalat di Rumah Saat Hujan
Hujan termasuk rukhshah (keringanan) yang memperbolehkan seseorang untuk tidak melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Namun, tidak setiap hujan memberikan rukhshah tersebut. Kebanyakan ulama menyatakan bahwa hujan yang menyebabkan masyaqqah (kesulitan) adalah yang dimaksud. Adapun jika hujannya ringan dan tidak menyulitkan, maka tetap dianjurkan untuk shalat berjamaah di masjid.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa ia mengumandangkan adzan shalat pada suatu malam yang dingin, berangin, dan hujan. Ia berkata di akhir adzannya:
أَلَا صَلُّوا في رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا في الرِّحَالِ
“Ketahuilah, shalatlah di rumah masing-masing! Ketahuilah, shalatlah di rumah masing-masing!”
Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan muadzin, jika pada malam hari terdapat cuaca dingin atau hujan dalam perjalanan, untuk mengatakan:
أَلَا صَلُّوا في رِحَالِكُمْ
‘Ketahuilah, shalatlah di tempat tinggal kalian masing-masing!`” (HR. Muslim)
Lihat juga: Sebab-Sebab Lain yang Membolehkan Menjamak Shalat
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54773-bab-shalat-di-rumah-saat-hujan/